Wednesday, September 16, 2020

LEGAWA

sumber: Google


Jam 9.05 ... Pak Don sedang menjelaskan pelajaran sejarah, aku pun asyik mendengarkan. Walau beberapa teman ada yang mengobrol dan kerapkali harus ditegur oleh Pak Don.

Aku sendiri, kurang berminat dengan pelajaran itu tapi karena nilaiku kurang bagus, kucoba menyimak penjelasannya.

Tiba-tiba pintu kelas diketuk. Setelah meminta izin ke Pak Don, Bu Ester, adiministrasi sekolah, mendekat ke mejaku.

"Paka, jam istirahat ditunggu kepala sekolah, di kantor." ujar Bu Ester sambil menatapku.

"Ya Bu... " jawabku pelan.

Waduh ... pasti SPP lagi, batinku.

Ini sudah kedua kalinya, aku dipanggil beliau, lanjutku dalam hati, seraya menunduk.

Widya menoleh ke arahku, pandangannya seakan menghiburku.

Isin aku karo kowe, batinku lagi.

Teman perempuan sekelasku ini seringkali menyemangatiku. Entah mengapa, perhatiannya begitu besar padaku, diam-diam aku pun naksir.

Sementara sibuk dengan lamunanku, bel berbunyi, tanda waktu istirahat sekolah tiba. Aku beranjak dari kursiku. Ketika melewati meja Widya, ia pun berkata lirih,

"Ojo sedih Ka, adepi ae Pak Nur."

 "Suwun Wid ... " sambil menyaut Paka pun berlalu, menuju ruang kepala sekolah.


*****


Kulangkahkan kakiku memasuki ruang kepala sekolah, segera setelah kuketuk pintu tadi. Kulihat Bu Lisa, wakil kepala sekolah yang terkenal cerewet pun sedang ada disana. Kusapa dengan mengangguk sekilas ke beliau, lalu melangkah ke hadapan Pak Nur.

"Paka, ini sudah bulan ke-empat, SPP mu kok nggak dibayar, piye?  tanya Pak Nur, tanpa basa basi.

"Ya Pak ,,, Ya Pak ,,,  piye?" lanjut Pak Nur.

"Saya sudah bilang bapak di rumah, beliau cuma jawab ... sabar ..." jawabku pelan.

"Ya sudah, tolong sampaikan ke bapakmu kalau bulan ini ndak bayar, kowe ora iso melu ujian. Paham?" tegas Pak Nur.

"Ya Pak, saya permisi." lanjut Paka sebelum berlalu keluar dari ruangan Pak Nur, sambil menunduk.


*****


Siang ini, seusai jam sekolah, aku bergegas, ingin segera tiba di rumah. Langkahku pun terburu-buru. Sapaan Widya seperti biasa mengajak pulang bareng, tak kugubris sama sekali karena pikiranku yang sedang sumpek.

Sesampaiku di rumah, sambil cemberut, aku mengadu ke Simbok,

"Buk! Aku tadi dipanggil Pak Nur lagi...nagih SPP..." ujarku.

"Yo wis Le, nanti ibuk bantu cari'in. Ma'em dulu sana!" Simbok menyabarkanku.

Sambil cemberut ku sendok nasi dan lauk tempe, seperti biasa.

"Wisuh tangane sik le, ben ora loro weteng!" perintah Simbok.

"Yes, Mbok.." jawabku.

"Ngambek kok, yes Mbok, yes Mbok!" saut Simbok, sambil mesem.

Selesai makan dan ganti baju, aku langsung pergi tidur. Biasanya, aku main dulu di lapangan kampung.


Sore hari, bangun dari tidurku, Simbok menghampiriku,

"Le ... ini buat nyaur SPP mu!" sambil menyorong sesuatu kepadaku.

"Ibuk dapat darimana?" selagi bertanya kulihat telinga Simbok. Anting yang tinggal 1 sudah tak ada. Pasangannya setahuku, sudah dijual Simbok dulu, untuk modal bapak jualan es kelapa.

"Ibuk jual anting ya?" tanyaku cepat.

"Sing penting kowe iso melu ujian Le!"  tegas Simbok. 

Antara senang dan sedih, kuterima uang darinya. Besok aku bisa bayar SPP.


Pas Magrib, Bapak dan Mas Yodih pulang. Nampak Bapak memapah Mas Yodih. Melihat hal itu, Simbok kaget.

"Kenapa Pak?" tanya Simbok

"Jatuh dari pohon kelapa, waktu turun habis ngambil buah kelapa." jawab Bapak cepat.

"Sudah diobati Pak?" sambung Ibu.

"Ndak punya duit, Buk. Dagangan agak sepi. Tapi udah dikasi obat gosok ... Parem. Mestinya dibawa ke Puskesmas." jelas Bapak lesu.

Ibu pun terdiam.


Malam hari, ketika mau tidur, aku kaget mendengar suara Mas Yodih yang tiba tiba merintih  kesakitan, cukup lama. Kuintip dari balik pintu kamar yang reyot dan tak bisa ditutup, kakakku nampak menderita sekali. Sedih melihatnya.

Selintas terbayang Mas Yodih yang sering membelaku, ketika aku dikejar anak kampung sebelah, sehabis menang main kelereng. Bahkan Mas Yodih pernah hampir ikut tenggelam, ketika menyelamatkanku, saat berenang di sungai bersama teman-temanku. Untung kami tersangkut akar pohon. Malahan  seringkali ia mengalah untukku, sewaktu lauk tempe, saat makan malam kami, tinggal sepotong.


*****


Jam 10.00, tepat saat bel berbunyi tanda waktu istirahat, aku bergegas ke ruangan Pak Nurcahyadi,. Di pintu kelas, Widya menyapaku,

"Piye ...???"

Aku cuma tersenyum. Hmm, anak ini sungguh baik padaku.

Di dalam ruangan kepala sekolah, kutengok Pak Nur sedang serius memperhatikan Bu Lisa, yang sedang berbicara. Kuketuk pintu, keduanya menoleh. Terlihat Bu Lisa agak cemberut, mungkin merasa pembicaraannya terpaksa terganggu dengan kedatanganku.

"Masuk!"

"Selamat pagi, Pak!" sapaku.

"Pagi ... Piye?" tanya Pak Nur.

Akupun mengeluarkan uang dari saku seragamku.

"Untuk SPP ya?" tanya Pak Nur.

"Tadinya, iya Pak!" jawabku.

"Lho ???"

"Tadinya untuk SPP, Pak, tapi kemaren kakakku jatuh dari pohon, bantu bapak petik kelapa buat jualan, cuma diobati gosok parem." jawabku.

"Semalam kesakitan, ndak bisa tidur, akhirnya aku ngalah aja Pak, kalau ndak bisa ikut ujian, uang ini buat berobat kakakku saja, ke Puskesmas!" sambungku menjelaskan. 

Pak Nur terdiam, teringat kemarin sore saat ia melihat Pak Emu, sedang memapah Mas Yodih, kakak si Paka, murid dihadapannya sekarang ini. Karena terburu-buru, Pak Nur dengan motornya tak sempat berhenti untuk bertanya.

"Paka, kamu belajar lebih rajin, supaya ujianmu lulus ya!" seru Pak Nur.

Aku tak mengerti dengan pernyataan Pak Nur barusan. Tapi kemudian, aku pamit untuk kembali ke kelas, karena waktu istirahat hampir selesai. 

Dalam hati Pak Nur ngebatin "Ono-Ono wae. Yo wis, iso melu ujian. ijazahnya ditebus kalau ada duit!"


*****


isin aku karo kowe. =  Aku malu padamu.

ojo =  Jangan. 

adepi ae  =  Hadapi saja.

suwun  =  Terima Kasih.

piye = Bagaimana.

kowe ora iso melu  =  Kamu tidak bisa ikut.

simbok =  Ibu 

yo wis,  Le  =  Ya sudah, Nak (laki-laki).

ma'em  =  Makan. 

ndak  =  Tidak.

wisuh  =  Cuci tangan.

ben ora loro weteng  =  Biar tidak sakit perut.

nyaur  =  Bayar.

ono-ono wae  =  Ada-ada saja.

mesem  =  Senyum.



6 comments:

TABIR NURAINI

image from Google Sudah dua purnama di Kampung ini terlihat lengang. Angin yang meniup daun pohon-pohon bambu, jelas terdengar. Wak Samad me...